Selasa, 18 Agustus 2020

Seusai Presentasi Kolokium (Magister)

Tanggal 17 Juli kemarin akhirnya aku menunaikan salah satu syarat untuk menuntaskan studiku di sini, yaitu kolokium. Terakhir kali aku kolokium adalah 3 tahun lalu ketika aku masih mengejar gelar sarjanaku. Kolokium yang kuhadapi kali ini sangat berbeda sensasinya dengan kolokium ketika masih S1. Selain karena sekarang kolokiumnya diadakan secara online via aplikasi Zoom, audien yang kuhadapi menurutku lebih kritis dibandingkan dahulu. Kali ini aku berhadapan dengan orang-orang yang lebih banyak pengalaman. Dosen yang turut hadir juga memberikan masukan yang baik untuk dimasukkan ke dalam proposal.

Pasca kolokium kegiatanku adalah perbaikan proposal yang ternyata... banyak juga perbaikan dari promotor keduaku. Beliau cukup sibuk jadi waktu yang dibuhkan untuk perbaikan lebih banyak 'nunggu' beliau mengambalikan revisiannya kepadaku dibandingkan waktu yang kubutuhkan untuk memperbaiki proposalnya. Gak masalah sih, toh di sela-sela waktu kugunakan untuk refreshing main ke sana-ke mari bareng anak-anak.

Sekarang aku lagi nunggu registrasi dan daftar ulang untuk S3. Sembari menunggu, aku coba buka lagi materi TOEFL dan mengerjakan beberapa soal karena sebelum mulai perkuliahan calon mahasiswa harus ikut placement test untuk menentukan perlu tidak mengambil matkul bahasa Inggris. Sebenarnya dulu pas awal masuk S2 juga sudah placement test, cuma katanya sekarang berbeda karena ambang batas nilainya lebih tinggi. Walaupun batas nilai lolos-nya lebih tinggi tapi paling tidak aku gak ngebet banget harus dapat nilai A karena tidak lagi menjadi syarat lolos evaluasi. Tahun pertama kemarin aku berusaha untuk dapat nilai A di Bahasa Inggris karena nilai yang muncul akan mempengaruhi IPK tahun pertama yang targetnya minimal 3.75. Bersyukur, evaluasi tahun pertama bisa kulalui dengan lancar. Padahal awalnya aku sangat skeptis.

Yah, itulah perkembangan kehidupanku akhir-akhir ini. Aku harus kerja makin keras untuk semester ini karena selain fokus untuk kuliah S3 bersama teman-teman sekelas yang jelas lebih berpengalaman di bidangnya, aku juga harus fokus mengerjakan tesis supaya aku bisa lulus S2 tepat waktu. Ayo semangat, Ummu pasti bisa!

Rabu, 20 Mei 2020

Karantina

God has blessed us with a measure of grace that words can't quite define and we’ve learned to prepare our hearts for the hard things with a joy I'll always cherish.
-- Kim Sorgius --
Awal Maret adalah pertama kali diumumkan terdapat 2 orang positif terinfeksi COVID-19 di Indonesia. Sejak saat itu pula berangsur-angsur jumlah orang yang terinfeksi bertambah hingga sekarang mencapai 19 ribu kasus. Hampir semua kegiatan masyarakat  dihimbau untuk menerapkan social distancing, begitu pula dengan kegiatan kampusku. Perkuliahan online sudah dimulai sejak pertengahan Maret dan sudah tidak diperbolehkan kegiatan tatap muka secara langsung.

Sampai sekarang, puasa minggu ketiga, aku masih terjebak di Bogor. Murni kesalahanku juga sih, karena tidak balik kampung ketika temen-temen yang lain balik sebelum diterapkankannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Sebenarnya aku sengaja. Hal ini disebabkan beberapa hal. Selain faktor adikku yang gak balik kampung juga, aku merasa dengan berada di Bogor akan membuatku lebih produktif dan merasa terpacu dibandingkan kalau di rumah. Aku sudah bisa membayangkan kalau aku stay di kampung justru motivasiku untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan proposal malah makin kendor.

Selama masa karantina ini sudah banyak hal yang terjadi. Salah satunya adalah aku gagal berangkat ke Jepang karena kegiatan Summer Course Hokkaido 2020 dibatalkan. Kecewa, jelas aku sangat kecewa tapi kurasa itu yang terbaik. Mengingat cerita kak Inov yang bilang kalau jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 di Jepang paling banyak ada di Hokkaido.

Selain itu, bulan ini bisa dibilang chaos karena aku harus menyelesaikan proposal pendanaan hibah penelitianku selama 3 tahun untuk program PMDSU (Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul) dalam kondisi sulit berkomunikasi dengan promotorku. Aku benar-benar tertekan dan stres karena harus membuat proposal riset untuk 3 tahun sedangkan selama ini diskusiku dengan promotor hanya membicarakan rencana riset untuk satu tahun ke depan. Kaget gak sih tiba-tiba dari Ristekdikti minta proposal untuk 3 tahun beserta rencana anggaran biayanya? Belum lagi beberapa masalah lain yang ikut menggangu pikiranku seperti permintaan menyelesaikan pekerjaan dari beberapa orang, juga mantan-mantan yang tiba-tiba saja mengusik ketenangan hidupku. Aku sampai gak tahu lagi harus cerita ke siapa dan berujung menghubungi psikolog untuk konsultasi singkat karena percuma saja cerita ke teman-temanku, mereka gak akan memahamiku dan selalu saja memberikan solusi 'kamu harusnya bersyukur'. Iyaaa, I know, I know... mungkin mereka gak tahu harus berkomentar dan memberi solusi seperti apa.

Puji Tuhan, promotorku adalah seorang yang sangat baik dan bijaksana. Saat promotor lain meminta tolong mahasiswanya untuk mengurus semua berkas upload, promotorku hanya memintaku untuk membuat proposal saja. Ketika aku menawarkan bantuan untuk upload kelengkapan berkas, beliau mengatakan tidak perlu. Aku sampai merasa kalau aku ini mahasiswa yang durhaka pada pembimbingnya :')

Source

Di sisi lain, aku sudah bisa menerima dan legowo dengan berakhirnya romantic relationship-ku yang terakhir. Well, mungkin bisa dibilang terlalu cepat untuk memulai hubungan baru... tapi memang seperti itu kenyataanya. Ada seseorang baru yang hadir di hidupku di mana kehadirannya tidak pernah aku duga sebelumnya. Seseorang ini memberikanku semua yang aku butuhkan di saat-saat pandemi ini, afeksi, perhatian, perasaan diprioritaskan. Semua hal itu tidak pernah kudapatkan dari hubungan-hubungan yang pernah kujalin sebelumnya. Banyak hal yang belum pernah kulakukan, aku melakukannya pertama kali dengan orang ini.

Untuk pertama kalinya aku mendapat pelukan yang membuatku merasa diinginkan...
Untuk pertama kalinya aku memeluk seorang lelaki ketika berboncengan di motor...
Untuk pertama kalinya ada seorang lelaki yang memasak untukku...
dan banyak hal lain yang baru pertama kali kulakukan, aku melakukannya dengan orang ini dan di situ aku merasa, "Ini beneran gak sih? Jangan-jangan ini cuma mimpi"

Kemudian aku merasa takut.

Merasa takut karena semua tampak indah di awal. Terlalu mudah, terlalu manis. Aku tahu bahwa perasaan takut terhadap hal tidak pasti di masa depan itu gak bagus and that's why I always prepare my heart for the hard things that may come.

Rabu, 05 Februari 2020

Semester Dua!

Sepertinya aku perlu mengapresiasi diriku dengan baik karena telah melalui semester 1 yang penuh dengan kehebohan. Mulai dari ngukur-ngukur ikan di Muara Baru yang bikin monangis sampai field trip seru di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu. Semua hal yang terjadi membuatku secara perlahan berubah secara tidak sadar. Aku menjadi lebih legowo dalam menerima segala sesuatu yang tidak berjalan sesuai harapanku. Selain itu aku juga mengamati bahwa aku berubah menjadi orang yang tidak terlalu tinggi menaruh ekspektasi pada suatu hal. Hidupku jadi terasa lebih ringan.

Di sisi lain aku merasa level curiosity-ku juga terasah lebih baik semenjak tugas-tugas di S2 ini lebih banyak yang fokus pada kualitas dibandingkan kuantitas. Aku yang makin kepo berbanding lurus dengan tingkat literasiku yang kurasa selevel lebih baik. Jumlah artikel jurnal yang kubaca dalam satu semester terasa lebih banyak dibandingkan semua artikel yang kubaca selama masih S1. Sekelas dengan banyak teman dari berbagai background riset menjadikanku lebih kaya pengetahuan.

Selama semester satu yang menurutku paling menarik adalah belajar tentang DNA Barcoding dan juga invasive species di mana kedua topik itu bagiku istilahnya 'I have no idea at all' lah. Padahal aku tidak terlalu berminat dengan binatang-binatang laut. Thanks to Aset International yang membuatku mau-tidak-mau harus super banyak baca topik DNA Barcoding karena kami 'dipaksa' untuk submit artikel jurnal untuk dapat nilai. Aku yang awalnya ogah-ogahan dan mesoh-mesoh lama-lama jadi menikmati.

Aku rasa ada satu hal yang masih butuh proses. Aku berusaha segera bisa mengatasi hal ini, rasa takut untuk menghadap pembimbingku sendiri.