Sumber |
Pembahasan revisi RKUHP
yang akan memperluas delik pidana asusila dikhawatirkan oleh beberapa kalangan
akan berpotensi mengkriminalisasi perempuan, korban perkosaan, anak, pasangan
yang menikah secara adat dan kelompok marjinal lain. Rencana ini menuai kontroversi
karena pasal zina dianggap tidak berpihak pada korban dan kelompok marjinal dan
justru berpotensi memidanakan mereka. Bahkan muncul petisi yang meminta agar
RKUHP ini dipertimbangkan kembali.
Pasal 484 Ayat (1) huruf
e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018
menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Tindak pidana zina tersebut diancam
dengan pidana paling lama 5 tahun penjara. Bagi masyarakat sipil,
perluasan makna zina dalam RUU KUHP ini berpotensi mengganggu ruang privasi
siapa saja. Menurut Komisi Nasional Hak Azasi Perempuan (Komnas Perempuan), ada
beberapa hal yang menjadi potensi bahaya dari RUU KUHP ini. Korban perkosaan
sangat rentan dikriminalisasi oleh pasal zina RUU KUHP ini. Terlebih apabila korban
tidak punya bukti yang cukup kuat untuk membuktikan kejahatan perkosaan yang
dialami korban. Tentu saja hal ini menyebabkan para perempuan dan anak-anak
yang menjadi korban pemerkosaan dan eksploitasi seksual takut melapor karena
khawatir dikenai pidana. Dalam banyak kasus korban terkadang sulit sekali
membuktikan bahwa ada ancaman atau paksaan oleh pelaku, yang merupakan unsur
penting tindak pidana perkosaan. Potensi kriminalisasi terhadap anak yang
terpapar hubungan seksual sebagai akibat dari kurangnya pendidikan dari orang
tua juga dapat terjadi yang mana seharusnya kegagalan ini tidak dibebankan
kepada anak, melainkan pada orang dewasa.
Selain itu, kriminalisasi
terhadap pasangan suami-istri yang status perkawinannya tidak dilengkapi oleh akta
pernikahan berpeluang terjadi pada penganut kepercayaan adat atau leluhur dan terhadap
warga yang tinggal di daerah yang kesulitan mengakses layanan administratif
pemerintahan. Menurut data Bappenas 2014, 55 persen pasangan menikah di rumah
tangga miskin tidak memiliki akta perkawinan. Tahun 2016 sebanyak 41 persen
pasangan menikah di rumah tangga miskin masih tidak mampu menunjukkan akta
perkawinannya. Enny Soeprapto [1] menyatakan jika agama yang dianut
tidak masuk dalam agama yang diakui negara. Hal tersebut akan menjadi
permasalahan padahal perkawinan yang dilakukan secara sah menurut agama tetapi
agama itu di luar enam agama itu, yang mereka sudah berstatus suami-istri tapi
dipidana karena perkawinannya menjadi dianggap tidak sah.
Selain itu, menurut Lini
Zurliani Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada Media
Indonesia [2] pasal ini merupakan delik laporan yang artinya setiap
orang dapat melaporkan perbuatan zina orang lain. Tentunya ini akan
meningkatkan persekusi dan budaya main hakim sendiri di kelompok masyarakat.
Masyarakat akan berlomba-lomba menjadi polisi moral dan mengintervensi privasi
orang lain. Penggerebekan rumah, kos, apartemen dan ruang privasi lainnya akan
semakin marak terjadi jika pasal ini disahkan.
Masyarakat yang menentang
perluasan pasal zina bukan berarti setuju dengan perzinahan tetapi karena pasal
tersebut dikuatirkan akan memberikan celah kepada kelompok tertentu untuk
melakukan persekusi, penggerebekan dan main hakim sendiri maka lebih baik RKUHP
tersebut dibatalkan karena bukan memberikan tertib hukum dalam masyarakat
tetapi justru kekuatiran kriminalisasi.
28 Februari 2018
Sumber:
[1]
Detik Online. September 2017. Definisi
Zina di Pasal 484 Dinilai Perlu Diperluas. Link.
[2]
Media Indonesia Online. Januari 2018. Pasal
Zina RKUHP Pancing Persekusi. Link.