Sabtu, 10 Maret 2018

[Sayang Dibuang] RUU KUHP

Sumber
Pembahasan revisi RKUHP yang akan memperluas delik pidana asusila dikhawatirkan oleh beberapa kalangan akan berpotensi mengkriminalisasi perempuan, korban perkosaan, anak, pasangan yang menikah secara adat dan kelompok marjinal lain. Rencana ini menuai kontroversi karena pasal zina dianggap tidak berpihak pada korban dan kelompok marjinal dan justru berpotensi memidanakan mereka. Bahkan muncul petisi yang meminta agar RKUHP ini dipertimbangkan kembali. 

Pasal 484 Ayat (1) huruf e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018 menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Tindak pidana zina tersebut diancam dengan pidana paling lama 5 tahun penjara. Bagi masyarakat sipil, perluasan makna zina dalam RUU KUHP ini berpotensi mengganggu ruang privasi siapa saja. Menurut Komisi Nasional Hak Azasi Perempuan (Komnas Perempuan), ada beberapa hal yang menjadi potensi bahaya dari RUU KUHP ini. Korban perkosaan sangat rentan dikriminalisasi oleh pasal zina RUU KUHP ini. Terlebih apabila korban tidak punya bukti yang cukup kuat untuk membuktikan kejahatan perkosaan yang dialami korban. Tentu saja hal ini menyebabkan para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban pemerkosaan dan eksploitasi seksual takut melapor karena khawatir dikenai pidana. Dalam banyak kasus korban terkadang sulit sekali membuktikan bahwa ada ancaman atau paksaan oleh pelaku, yang merupakan unsur penting tindak pidana perkosaan. Potensi kriminalisasi terhadap anak yang terpapar hubungan seksual sebagai akibat dari kurangnya pendidikan dari orang tua juga dapat terjadi yang mana seharusnya kegagalan ini tidak dibebankan kepada anak, melainkan pada orang dewasa. 

Selain itu, kriminalisasi terhadap pasangan suami-istri yang status perkawinannya tidak dilengkapi oleh akta pernikahan berpeluang terjadi pada penganut kepercayaan adat atau leluhur dan terhadap warga yang tinggal di daerah yang kesulitan mengakses layanan administratif pemerintahan. Menurut data Bappenas 2014, 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin tidak memiliki akta perkawinan. Tahun 2016 sebanyak 41 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin masih tidak mampu menunjukkan akta perkawinannya. Enny Soeprapto [1] menyatakan jika agama yang dianut tidak masuk dalam agama yang diakui negara. Hal tersebut akan menjadi permasalahan padahal perkawinan yang dilakukan secara sah menurut agama tetapi agama itu di luar enam agama itu, yang mereka sudah berstatus suami-istri tapi dipidana karena perkawinannya menjadi dianggap tidak sah. 

Selain itu, menurut Lini Zurliani Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada Media Indonesia [2] pasal ini merupakan delik laporan yang artinya setiap orang dapat melaporkan perbuatan zina orang lain. Tentunya ini akan meningkatkan persekusi dan budaya main hakim sendiri di kelompok masyarakat. Masyarakat akan berlomba-lomba menjadi polisi moral dan mengintervensi privasi orang lain. Penggerebekan rumah, kos, apartemen dan ruang privasi lainnya akan semakin marak terjadi jika pasal ini disahkan. 

Masyarakat yang menentang perluasan pasal zina bukan berarti setuju dengan perzinahan tetapi karena pasal tersebut dikuatirkan akan memberikan celah kepada kelompok tertentu untuk melakukan persekusi, penggerebekan dan main hakim sendiri maka lebih baik RKUHP tersebut dibatalkan karena bukan memberikan tertib hukum dalam masyarakat tetapi justru kekuatiran kriminalisasi.

28 Februari 2018

Sumber:
[1] Detik Online. September 2017. Definisi Zina di Pasal 484 Dinilai Perlu Diperluas. Link.
[2] Media Indonesia Online. Januari 2018. Pasal Zina RKUHP Pancing Persekusi. Link.